PELINGGIH TUNGGUN KARANG Di Huni ROH ROH GENTAYANGAN Dan BHUTA CUIL Jika TIDAK MEMENUHI SYARAT...#hindunusantara #bali #pura #hindujawa @DGSTV_8News
Pembangunan pura atau palinggih di Bali memiliki makna filosofis yang tinggi. Dan, yang tak kalah penting adalah fungsi dari bangunan tersebut.
Salah satunya adalah Panunggun Karang atau Sedahan Karang atau Tugu Karang.
Tugu Karang berasal dari kata ‘tuhu’ yang artinya tahu atau mengetahui dan berpengetahuan.
Karang artinya pekarangan atau halaman rumah, bisa juga karang diri atau tubuh.
Siapa yang memahami dan mengetahui karang dirinya dengan baik, maka ia adalah yang mencapai keseimbangan sekala dan niskala.
Dalam mistik kadyatmikan dan kawisesan, Tugu Karang adalah bijaksara mantra yang utama.
Tugu adalah Tang, Ang, dan Ung diringkas menjadi Karang, yakni Ang dan Ah.
Dimana Ang dan Ah adalah dwiaksara simbol kehidupan dan kematian.
Jika ditelisik lebih jauh, Panunggun Karang sesungguhnya memiliki hubungan dengan Tepuk Kanda (Kanda Pat), yaitu empat saudara (keluarga) spiritual dari setiap orang Bali.
Kata ‘keluarga’ yang dimaksud di sini bisa berupa fisik keluarga yang tinggal dalam dinding-dinding rumah atau senyawa untuk Pat Kanda atau keluarga mistis yang tinggal di alam mistis.
Senyawa tersebut adalah ari-ari yang disebut Prajapati dan berstana di Sedahan Karang.
Dalam lontar Sudamala disebutkan bahwa Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), turun ke semesta dengan dua perwujudan, yaitu Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Titah.
Setelah itu, Beliau memiliki fungsi, di mana Hyang Titah menguasai alam mistis, termasuk di dalamnya alam dewa dan bhuta kala, sorga dan neraka, bergelar Bethara Siwa yang kemudian menjadi Hyang Guru.
Sedangkan Hyang Wenang turun ke mercapada, dunia fana ini, berwujud Semar atau dalam Susastra Bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini.
Aplikasinya, Hyang Titah berstana di ‘hulu’ yaitu komplek Sanggah Pamerajan, sedangkan Hyang Wenang berstana di ‘Teben’ yaitu di komplek bangunan perumahan berupa Sedahan Karang.
Mengenai bentuk bangunan juga menyerupai penokohan yang berstana di dalamnya. Misalnya, stana Hyang Guru selalu diidentikan dengan kemewahan dan di atasnya menggunakan tutup ‘Gelung Tajuk’ atau sejenisnya sebagai perlambang penguasa sorga.
Sedangkan Sedahan Karang bentuknya menyerupai bentuk pewayangan Malen, yaitu sederhana, tapi kekar dengan atasan menyerupai hiasan kuncung seperti bentuk ornamen kepala dari wayang Semar.
Sementara dalam lontar Kala Tatwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang atau Sawah dengan tugas sebagai Pecalang.
Sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau pura dengan sebutan Pangerurah, Pangapit Lawang atau Patih.
Di alam Madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk yang kasat mata saja, tetapi juga oleh yang tidak kasat mata atau roh.
Roh-roh yang gentayangan, misalnya roh jasad manusia yang lama tidak diaben, atau mati tidak wajar, tertimbun belabur agung, akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan.
Maka untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan.
Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah atau di pojok Barat Laut pekarangan rumah.
Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain, asal memenuhi aspek kesucian.
Pada lontar Kala Tatwa ini juga disinggung mengenai lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, di mana Dewa Kala dikatakan lahir saat hari Kajeng Kliwon nemu hari Saniscara (Sabtu) yang di Bali dengan istilah ‘Tumpek’.
Jadi, piodalan Sedahan Karang disarankan disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana, yaitu saat ‘Tumpek’.
Tumpek berasal dari kata ‘metu’ yang artinya pertemuan. Dan ‘mpek’ artinya akhir. Jadi, Tumpek adalah pertemuan akhir, dalam hal ini yang dimaksud adalah akhir dari Sapta Wara dan Panca Wara.
Maka dari itu, Tumpek akan jatuh pada Saniscara Kliwon.
Untuk itu, silakan dipilih Tumpek yang mau dijadikan odalan Sedahan Karang dari sekian banyak hari raya Tumpek di Bali untuk menghormati keberadaan Dewa Kala.
Wastra yang digunakan pada Palinggih Sedahan Karang identik dengan warna hitam dan putih atau poleng.
Hal itu merupakan simbol Palinggih Sedahan Karang yang mampu bersifat Dewa maupun Bhuta Kala.
Ещё видео!