Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional Indonesia menampilkan karya-karya seni rupa koleksi negara berdasarkan periodisasi perjalanan seni rupa Indonesia yang disajikan dalam tujuh ruang:
RUANG 4
Masa Transisi: Prahara Politik dan Kebudayaan 1960-an
Ruang ini menyajikan karya-karya para seniman yang “lahir” pada masa transisi pemerintahan Orde Lama menuju Orde Baru. Saat itu, terjadi prahara politik dan kebudayaan setelah dimulainya pemerintahan Demokrasi Terpimpin melalui Manifestasi Politik yang dideklarasikan Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1959. Dalam Manifestasi Politik itu dinyatakan bahwa ideologi kebudayaan rakyat harus kembali kepada kebudayaan dan kepribadian nasional.
PKI (Partai Komunias Indonesia) yang sejalan dengan garis komando pemerintah, menemukan momentumnya untuk semakin dekat dengan Soekarno. Seketika, estetika kerakyatan yang dipropagandakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menjadi hegemoni. Puncaknya, dominasi Lekra akhirnya digugat oleh sejumlah seniman dan budayawan melalui Manifesto Kebudayaan yang menawarkan semangat humanisme universal. Atas desakan Lekra melalui PKI, Soekarno melarang Manifesto Kebudayaan (8 Mei 1964), dilanjutkan dengan Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (13 Mei 1964). Sejumlah anggota Seniman Gelanggang Merdeka yang bekerja di lingkungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan diberhentikan.
Setelah peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965, Soekarno lengser, dan pemerintahan Orde Lama digantikan Orde Baru. Lekra dibubarkan dan hegemoni estetika kerakyatan pun berakhir. Karya-karya seni rupa di luar tema kerakyatan kemudian berkembang, ditandai dengan tampilnya sejumlah anggota Sanggar Bambu, dan munculnya kecenderungan abstrak di luar ITB.
-----
The Permanent Exhibition of Galeri Nasional Indonesia displays state-collection artworks based on the periodization of Indonesian art development arranged into seven rooms:
ROOM 4
Transition Period: Political and Cultural Chaos of the 1960s
This room displays artworks of the artists who were “born” at the transitional time from the Old Order to the New Order government. The political and cultural chaos occurred after the Guided Democracy through the Political Manifestation declared by President Soekarno on 19 August 1959 started. The Political Manifestation stated the ideology of people’s culture had to refer to the national culture and identity.
The Indonesian Communist Party (PKI), as a coalition of the government, found its momentum to draw closer to Soekarno. Suddenly, the populist aesthetic provoked by Lekra became a hegemony. It reached the climax when Lekra’s domination was criticized by a number of artists and cultural activists who offered the spirit of universal humanism through the Cultural Manifesto. Under Lekra’s pressure through PKI, Soekarno forbade the Cultural Manifesto (8 May 1964), enforced with the Instruction of the Minister of Primary Education and Culture (13 May 1964). A number of Gelanggang Merdeka artists who worked at the Ministry of Education and Culture were fired.
After the 30 September 1965 movement (G30S/PKI), Soekarno stepped down and the Old Order was replaced with the New Order government. Lekra was dismissed and the populist aesthetic hegemony ended. Artworks emerged with more diverse themes outside the populist themes, highlighted with the showing up of several Sanggar Bambu’s members and the emergence of abstract trends outside ITB.
Ещё видео!