Kasus Siswa SMP di Cilacap Lebih Tepat Disebut Penganiayaan Bukan Perundungan
Aksi kekerasan yang dilakukan seorang pelajar SMP di Cilacap Jawa Tengah terhadap temannya, tidak tepat sebagai sebuah tindak bullying atau perundungan.
Lebih tepat, aksi itu disebut sebuah tindak kekerasan atau penganiayaan.
Hal itu diungkapkan Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel.
Ia mengeaskan ketidaksetujuannya dengan istilah perundungan atau bullying dalam kasus tersebut.
Sebagaimana video viral, MK, seorang siswa pelajar kelas 9 SMPN 2 Cimanggu, Cilacap, menganiaya rekannya FF, pelajar kelas 8, secara brutal dan bertubi-tubi hingga korban lemas tak berdaya.
Pelaku memukul, menendang, menginjak hingga menyeret tubuh korban.
Namun pihak terkait mulai sekolah, dinas pendidikan setempat hingga polisi menyebut ini adalah kasus bullying atau perundungan.
Sementara menurut Reza, kata perundungan tidak mewakili keseriusan peristiwa tersebut.
Kekerasan fisik atau penganiayaan lebih representatif.
Mengenai ancaman pidana bagi anak-anak yang melakukan kekerasan fisik, Reza mengkhawatirkan hal itu tidak cukup bikin jera pelaku.
Apalagi ketika kekerasan tersebut dilakukan sebagai respons terhadap anak lain yang notabene sudah melakukan perundungan lebih dulu.
Oleh karena itu disamping litigasi, juga dilakukan restorative justice secara simultan.
Adapun nilai tambah restorative justice yang dimaksud Reza adalah pertama, pelaku lebih kapok, sehingga tidak menjadi residivis.
Kedua, jika korban berharap mendapat restitusi, peluangnya lebih tinggi.
Ketiga, meredam perluasan konflik, antar keluarga misalnya, dan keempat, biaya proses penyelenggaraan restorative justice lebih rendah ketimbang litigasi.
Sisi lain, menurut Reza, kalau pelaku pindah-pindah sekolah karena melakukan perundungan, maka boleh jadi dia pada dasarnya sudah bisa disebut sebagi residivis.
Penyebutan itu, perhitungannya berdasarkan re-offence (pengulangan tindak pidana), bukan re-entry (keluar masuk lapas). Re-offence yang tidak menjadi kasus hukum.
