JAKARTA, HUMAS MKRI - “Penyelundupan” klausula baku oleh pelaku usaha dalam perjanjian jual beli menjadi salah satu penyebab meningkatnya permasalahan pengaduan konsumen sewa guna usaha atau leasing di masyarakat. Padahal pencantuman klausula baku itu sudah dilarang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena merugikan pihak konsumen. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/4/2019).Dalam perjanjian standar, Tulus mengungkapkan ada pelaku usaha yang menyelipkan klausula baku mulai dari menyatakan pengalihan tanggung jawab, atau pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang dan seterusnya. “Dan menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan yang ditetapkan di kemudian hari, ini yang sering menelikung konsumen ketika berinteraksi dengan sektor jasa. Salah satunya adalah jasa leasing,” ungkapnya.Tulus melanjutkan karakter klausula baku yang sering YLKI temukan dalam keluhan-keluhan konsumen cenderung menguntungkan pelaku usaha. Konsumen pun menjadi pihak yang dirugikan. Mengantisipasi kecurangan pelaku usaha tersebut, YLKI sudah menempuh upaya berdiskusi dengan OJK dan Bank Indonesia agar ditentukan perjanjian jual beli standar yang memiliki karakter sama. Selain itu, YLKI mendorong agar adanya perubahan regulasi mengenai penyelundupan klausula baku ini.“Substansinya (klausula baku dalam perjanjian jual beli) sangat sulit dipahami konsumen karena terlalu detail, teknis, dan kontennya juga memang konsumen tidak paham, bentuk dan tulisannya sangat kecil dan jelimet sehingga kami pernah mengusulkan dalam sebuah diskusi di OJK dan BI bahwa diperlukan perjanjian standar yang distandarisasi oleh regulator, misalnya oleh OJK. Jadi, dalam konteks perbankan atau asuransi harusnya dibuat perjanjian standar yang karakternya sama sehingga tidak merugikan konsumen dengan menyelundupkan pasal-pasal klausula baku,” terangnya.Dalam permohonannya, Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo selaku Pemohon mendalikan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Dalam kasus konkret pihaknya telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT Astra Sedaya Finance (PT ASF). Sebelumnya, Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah tersebut. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Pemohon berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan dengan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 - 18 Juli 2017 Pemohon telah membayarkan angsuran secara taat. Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan Pemohon dengan dalil wanprestasi. Atas perlakuan tersebut Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga pada beberapa perlakuan tidak menyenangkan selanjutnya.Menerima perlakuan tersebut, Pemohon berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Pengadilan pun mengabulkan gugatan Pemohon dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11 Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian. Atas perlakuan paksa tersebut, Pemohon menilai PT ASF telah berlindung di balik pasal yang diujikan pada perkara a quo. Padahal lagi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berkedudukan lebih tinggi dari UU a quo. Dengan demikian, para Pemohon pun berpendapat bahwa tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal a quo.Sebelum menutup persidangan, Anwar menyampaikan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Senin, 13 Mei 2019 pukul 12.30 wib dengan agenda mendengar keterangan DPR, Ahli dari pihak MK, dan Ahli Pemerintah. (Sri Pujianti/LA)
Ещё видео!