Panglima yang memegang kendali pasukan pelopor yang dibentuk Diponegoro adalah seorang anak muda berusia 17 tahun bernama Sentot Alibasya Mushtofa Prawirodirjo. Dalam usia yang sangat muda, Sentot dipercaya memegang komando sebanyak 250 orang pasukan pelopor atau lebih dikenal dengan nama “Pasukan Penilih”. Keberanian dan kehebatan strategi perang Sentot diakui oleh Belanda yang terlulis dalam buku “De Java Oorlog Van yang ditulis De Klerek tahun 1825 hingga 1830. Yang menyebutkan bahwa strategi perang Sentot dalam melakukan maneuver sangat mencengangkan pihak Belanda.
Sentot sendiri menurut Sejarawan Bengkulu Agus Setyanto merupakan buyut dari Sri Sultan Hamengku Buwowo pertama yang dijebak dan ditangkap melalui perundingan di Madiun. Usai ditangkap, Sentot muda dipaksa untuk memimpin pasukan Belanda dalam perang Paderi di Sumatra Barat. Tetapi karena kecintaan dan loyalitas sang Panglima yang berjuluk “Napoleon dari tanah Jawa” itu, Sentot malah berkongsi dengan para intelejen pasukan paderi untuk membocorkan informasi pasukan Belanda yang dipimpinnya untuk kepentingan serangan kaum pribumi.
Senopati Perang Diponegoro
Ketika pecah perang Diponegoro atau perang Jawa (1825), Sentot Alibasya yang masih berusia 17 tahun segera bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Bahkan nama Sentot termasuk salah satu diantara para tokoh pelaku sejarah yang berpengaruh besar terhadap jalannya Perang Diponegoro. Sentot Alibasya yang lebih dikenal dengan nama lengkapnya Sentot Alibasya Abdulmustofo Prawirodirdjo setelah dinobatkan menjadi panglima perang atau Senopati Perang Pangeran Diponegoro, Raden Prawiro Kusumo (putra Pangeran Ngabei jaya Kusuma) yang usianya relatif masih muda sebaya dengan Sentot Alibasya dan Gusti Iman Ngabdul Hamid Ali Basah (cucu Sultan Hamengku Buwono II) salah satu panglima perang Diponegoro yang ikut tewas dalam pertempuran di sepanjang sungai Progo.
Perjuangan dan Kepahlawanan Sentot Alibasya Prawirodirdjo
Sentot diangkat sebagai Panglima Perang (Senopati Perang) Diponegoro dan diberi kepercayaan oleh Pangeran Diponegoro untuk memimpin pasukan yang diberi nama Pasukan Penilih dengan kekuatan sebanyak 250 orang.
Panglima Perang Diponegoro ini semakin disegani dan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Beberapa kali pasukan Sentot berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang memiliki perlengkapan persenjataan yang lebih kuat dan lebih unggul. Panglima Sentot bersama pasukannya dan Prawiro Kusuma (putra Pangeran Ngabei Jaya Kusuma) mampu mengalahkan pasukan Belanda dalam pertempuran di Deksa (8 Juli 1826), dan di Dusun Kasuruan dekat sebuah jurang (28 Juli 1828), serta pertempuran di Lengkong (80 Juli 1828). Keberhasilan Sentot mengalahkan pasukan musuh dalam setiap kali pertempuran semakin memperkuat posisi Sentot sebagai Panglima Perang Tertinggi Pangeran Diponegoro. Bahkan Jenderal De Kock sebagai pihak musuh sendiri pun mengakui bahwa Sentot adalah jenderalnya Pangeran Diponegoro tertinggi yang paling lihai dalam menjalankan strategi perangnya.
Sentot yang usianya masih relatif muda, gagah dan berjiwa patriotis ini tidak mudah ditaklukkan. Bahkan semangat kejuangan dan kepahlawanan Sentot masih terus berkobar, meskipun beberapa tokoh besar pejuang Perang Diponegoro satu persatu sudah ditundukkan oleh Belanda. Dalam catatan sejarah, selama tahun 1828, Sentot masih berhasil meneruskan perang di daerah Banyumas.
Sentot bersedia menghentikan perlawanannya dengan persyaratan memberikan uang sebanyak 10.000 dollar, menyetujui pembetukan pasukan sebanyak 1.000 orang dengan pakaian dan perlengkapannya, memberikan 400 hingga 500 pucuk bedil. Persyaratan lain adalah, Sentot dan pasukannya langsung dibawah perintah gouvernement, bebas daripada Sultan, atau salah seorang kepala/pembesar, bebas menjalankan agamanya, tidak ada paksaan minum jenewer atau arak serta mengizinkan pasukan-pasukannya memakai surban.
Selanjutnya, pada tanggal 24 Oktober 1829, Sentot Panglima muda remaja bersama para pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima dengan penghormatan militer. Ini membuktikan bahwa Sentot tidaklah dengan mudah menyerah begitu saja kepada Belanda. Selanjutnya Sentot dimanfaatkan oleh Belanda, dan dikirim ke Sumatra Barat untuk memadamkan perlawanan kaum Paderi.
Setahun kemudian, setelah Sentot bertugas di Minangkabau, maka terjadilah kontak hubungan antara Sentot dengan pemimpin-pemimpin Minangkabau. Sentot berhubungan secara rahasia dengan pemuka-pemuka Padri. Sentot sempat bertemu dengan Tuanku Imam Bonjol, disalah satu tempat yang tidak diberitahukan. Dengan Sultan Alam Bagagar Syah, Sentot juga mengadakan pertemuan rahasia guna mengatur langkah untuk melawan Belanda.Sultan Alam Bagagar Syah segera membuat surat rahasia kepada seluruh pemimpin dan pemuka masyarakat di Minangkabau antara lain Tuanku Imam dari Kamang dan Tuan Alam beserta semua penghulu dari Luhak Nan Tigo, Raja Tigo Selo, Yang Dipertuan di Parit Batu, Tuanku Sambah di Batang Sikilang dan Tuanku Air Batu.
Ещё видео!