Para panglima Diponegoro
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah Kiai Madja, Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono VI, dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.
Kiai Madja
Kiai Madja, adalah salah seorang tokoh agama di Surakarta yang ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kiai Madja yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta, tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam.
Selain Kiai Madja, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya, Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kiai Madja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Madja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Sentot Prawirodirdjo
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu panglima Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia meminta sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat menjadi senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5 September 1828.
Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid, panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa Romawi dalam usia 17 tahun juga. Sentot Alibasha juga dijuluki "Napoleon Jawa". Sentot memimpin pasukan sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban. Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan Turki Utsmani.
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan ratusan serdadu Hindia Belanda. Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk upati Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer seperti seorang Jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan ditangkap.
Kerta Pengalasan
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered. Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon Progo.
Para pendamping
Selain para panglima perang, Pangeran Diponegoro juga didampingi oleh para pendamping yang sering disebut sebagai panakawan (pengiring), yakni Joyosuroto (Roto), Banthengwareng, Sahiman (Rujakbeling), Kasimun (Wangsadikrama), dan Teplak (Rujakgadhung). Mereka para panakawan disebut juga sebagai bocah becik (anak baik) dan berperan bergantian sebagai abdi pengiring, guru, penasihat, peracik obat, pembanyol, hingga penafsir mimpi.
Joyosuroto
Joyosuroto (dipanggil Roto) adalah panakawan yang selalu ada di setiap perjalanan sang Pangeran sejak awal perjuangan hingga perjalanan sebagai tahanan menuju pengasingan. Roto bahkan ikut dalam kereta kuda residen Kedu menuju Semarang dan bertugas membawa kotak sirih. Roto juga menjaga kamar Pangeran Diponegoro dengan tidur di depan pintu kamarnya ketika sang pangeran telah tiba dan menginap selama seminggu di Wisma Residen Bojong, Semarang. Dia menyajikan roti putih yang dipanggang setiap pagi berikut kentang walanda.
Banthengwareng
Banthengwareng yang hidup antara tahun 1810-1858 disebut-sebut sebagai panakawan yang paling setia. Banthengwareng disebut sebagai panakawan yang paling setia, karena dia ikut hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar.
Namanya tertulis dalam Babad Dipanagara dengan julukan lare bajang, anak muda yang nakal dan cebol. Tubuh cebolnya juga tergambar dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje yang tersimpan di Universitas Leiden, yang menggambarkan Banthengwereng sebagai sosok bertubuh cebol, buncit dan tak berbusana. Di lukisan tersebut, Banthengwereng berdiri di dekat Pangeran Diponegoro dan membantu sang Pangeran mengajarkan ilmu mistik Islam kepada putranya, ketika berada dalam pengasingan tahun 1835-1855.
Ещё видео!