Kesaksian Keluarga Jenderal S Parman yang Menarik untuk Diketahui
Kesaksian keluarga Jenderal S Parman ini menarik untuk diketahui. Jenderal S Parman yang dimaksud adalah Letjen Anumerta Siswondo Parman atau lebih dikenal dengan nama Jenderal S Parman. Dia adalah salah satu jenderal dari enam jenderal yang jadi korban penculikan komplotan G30S PKI pada dini hari 1 Oktober 1965.
Ketika diculik untuk kemudian dibunuh di Lubang Buaya, S Parman yang ketika itu masih Mayor Jenderal merupakan perwira penting di jajaran pimpinan teras Angkatan Darat. Jenderal Parman ketika itu menjabat sebagai asisten intelijen Menteri Panglima Angkatan Darat.
Nah, di situs Kompasiana.com, ada artikel menarik yang ditulis Rizka Bayu Wirawan. Dia, mengaku masih punya hubungan kekerabatan dengan Jenderal S Parman.
Di situs Kompasiana, Rizka Bayu Wirawan menulis sebuah artikel menarik berjudul," Kisah Dua Bersaudara dari Wonosobo." Dalam artikel yang dimuat di Kompasiana itu, Rizka Bayu Wirawan menulis bahwa keluarga dari garis bapaknya itu unik. Orangnya nyentrik-nyentrik.
"Yang akan ceritakan disini adalah adik-adik kandung dari nenek saya, yaitu Siswondo Parman dan Sakirman," tulis Rizka Bayu Wirawan.
Siswondo Parman atau lebih dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi, menurut Rizka Bayu Wirawan, adalah
Letjen Anumerta S Parman yang lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918.
Siswondo Parman adalah anak keenam dari sebelas orang saudara. Ayahnya bernama Kromodihardjo, seorang pedagang. Sedangkan kakaknya Insinyur Sakirman lahir pada tahun 1911, juga di Wonosobo.
"Nenek moyang kami memang orang Wonosobo, eyang buyut kami, Sayid Umar Sutodrono adalah salah satu senapati Pangeran Diponegoro yang setelah kekalahannya pada tahun 1830, hijrah ke Kota Wonosobo dan mendirikan Kampung Sudagaran," tulis Rizka Bayu Wirawan.
Rizka Bayu Wirawan melanjutkan ceritanya. Kata dia, meskipun Kromodihardjo hanyalah seorang pedagang di Pasar Wonosobo, ia mewajibkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya.
Siswondo Parman misalnya setelah menyelesaikan pendidikan di HIS atau Sekolah Dasar Belanda di Wonosobo, kemudian melanjutkan pendidikan ke MULO atau Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta.
Menurut Rizka Bayu Wirawan, harusnya Siswondo Parman melanjutkan ke AMS atau sekolah yang setara dengan SMA saat ini. Namun karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1937, maka hampir dua tahun Siswondo Parman tidak bersekolah.
Kemudian untuk mengisi waktu, Siswondo Parman membantu ibunya berdagang di Pasar Wonosobo. Setelah itu Siswondo Parman kembali melanjutkan ke AMS. Tamat dari AMS, Siswondo Parman melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) di Jakarta.
Ayahnya, tulis Rizka Bayu Wirawan, pernah punya keinginan anaknya itu masuk sekolah kedokteran. Padahal Siswondo Parman sendiri sebenarnya ingin masuk Sekolah Tinggi Hukum.
Pada tahun 1942, Jepang melakukan invasi hingga kemudian masuk Indonesia. Akibatnya Siswondo Parman gagal menyelesaikan pendidikan di sekolah kedokteran. Sampai akhirnya, pada suatu hari ketika Siswondo Parman sedang berada di Wonosobo, ia bertemu polisi militer Jepang, Kenpetai.
Polisi Jepang ketika itu membutuhkan seseorang yang bisa berbahasa Inggris sebagai penterjemah. Nah, kata Rizka Bayu Wirawan, Siswondo Parman kebetulan fasih berbahasa Inggris. Maka, ia pun kemudian masuk Kenpetai hingga ke Yogyakarta.
Tapi meski membantu Jepang, kata Rizka Bayu Wirawan, rasa nasionalisme Parman tetap tinggi. Parman tetap menjalin hubungan teman-temannya yang berjuang melawan Jepang secara diam-diam. Sampai akhirnya, proklamasi kemerdekaan Indonesia pun dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah itu dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Parman pun akhirnya memutuskan masuk dunia militer sebagai tempat pengabdiannya pada negara. Menurut Rizka Bayu Wirawan, selama Agresi Militer II, Siswondo Parman ikut bergerilya di luar kota. Usai agresi, Parman sempat mengenyam pendidikan di KMA di Breda, Belanda. KMA ini semacam Akademi Militer sekarang.
Setelah itu, karir Parman di TNI terus menanjak. Sampai akhirnya dia diangkat menjadi Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat bidang Intelijen dengan pangkat Brigadir Jenderal. Kemudian pada Agustus 1964, pangkatnya dinaikkan lagi menjadi Mayor Jenderal atau jenderal bintang dua.
Nah, kata Rizka Bayu Wirawan, pada waktu memegang jabatan sebagai Asisten I bidang Intelijen, pengaruh PKI sudah meluas ke hampir seluruh bidang kenegaraan. Lawan utama PKI ketika itu adalah Angkatan Darat. PKI ketika itu menyebar isu bahwa pihak Angkatan Darat lewat Dewan Jenderal berniat menggulingkan Presiden Soekarno dari kursi kekuasaan.
PKI juga terus mendesak Presiden Soekarno membentuk Angkatan Kelima, dimana anggotanya adalah buruh dan tani yang dipersenjatai. Jenderal Parman adalah salah satu jenderal yang paling keras menolak rencana pembentukan Angkatan Kelima.
Ещё видео!